Kota Bangkok, secara umum suasananya (dan juga tampang penduduknya) hampir mirip Jakarta, atau mungkin juga versi metropolitannya Yogyakarta (karena sama-sama punya tulisan khas dan warganya sangat mencintai Raja/Sultan). Hanya saja dalam beberapa hal, Bangkok sedikit lebih bersih dibanding Jakarta/Yogya, warganya juga sedikit lebih tertib, dan anginnya sedikit lebih dingin di bulan Desember.
Moda angkutan umum di kota ini a.l.: MRT (Mass Rapid Transit), BTS (Bangkok mass Transit System), Airport Rail Link, kereta api, express boat di sungai Chao Phraya, taksi argo meter yang harganya tetap harus ditawar, bis-bis kota bernomor sesuai rute, dan yang paling terkenal adalah Tuk-tuk, yaitu kendaraan roda tiga yang lebih lega dibanding bajaj. Lalu jika kita melihat banyak pemotor pakai rompi warna terang oranye atau pink, mereka itu tukang ojek! Ternyata bukan cuma ada di Indonesia.
selfie sepatu sandal dulu di tuk tuk, tapi bukan tuk tuk ini yang bikin trauma
Ketika saya dan istri berkunjung ke sana akhir tahun 2014 lalu, kami sempat “dikadalin” oleh supir tuk-tuk yang membuat jadi agak trauma. Waktu itu kami meminta diantar untuk mencari makan malam sea food yang enak dan “murah meriah”, ternyata kami malah diantar menuju sebuah resto seafood yang katanya enak dan tidak mahal. Kenyataannya, kami harus membayar lebih dari 1 juta rupiah, jika dikurs dari baht, untuk makan malam berdua.
Dengan kejadian tersebut, otomatis kondisi finansial baht kami untuk jalan-jalan di hari terakhir besok langsung anjlok di titik terendah. Untungnya saya dan juga istri ternyata masih membawa simpanan uang rupiah yang rencananya akan dipakai ketika pulang sampai di tanah air, dan untungnya lagi, ada bank (Bangkok Bank) yang mau menerima rupiah kami untuk ditukar baht.
Keesokan harinya, kami memutuskan untuk mulai berhemat. Rencana tujuan hari itu adalah kuil Wat Pho dan Wat Arun yang saling berseberangan di masing-masing sisi sungai Chao Phraya. Dari tempat kami berdiri ketika itu di depan Siam Square yang masih sepi di pagi hari, kami sudah putuskan untuk naik bis agar hemat, sembari celingak-celinguk mencari informasi tentang rute bis yang agak susah dicari, dan pastinya juga susah dibaca jika sudah ditemukan.
Setelah bertanya-tanya, akhirnya seorang perempuan muda bertampang mahasiswa dengan ikhlas memberitahu kami nomor bis mana saja, itu pun setelah ia googling di smartphone-nya. Gadis itu menyebutkan dua nomor, dan kami naiki salah satunya, yaitu bis nomor 15. Sebuah bis tanpa AC dengan semua bangku menghadap depan 2 baris di sisi kiri dan 1 baris di sisi kanan sehingga menyisakan tempat yang lega di antara dua baris bangku.
ini nomor bis yg kami naiki, diambil dari bangkok.com
Bis berjalan dengan kecepatan sedang, tak banyak penumpang pagi itu, mungkin jam-jam ramainya warga pergi kerja dan sekolah sudah lewat. Karena lengang, kami berdua bebas memilih posisi duduk, yaitu di bagian paling depan baris kiri yang menyediakan dua tempat duduk. Supir bis mengendarai kendaraannya sembari ngobrol ngalor-ngidul (sok tahu, kayak ngerti bahasa Thai aja, hehe..) dengan penumpang laki-laki yg duduk persis di belakangnya.
supir bis 15 yg tampak kelelahan terkulai di setirnya
Namun di benak kami masih diselimuti pertanyaan, apakah benar bis ini menuju tempat tujuan? Berapa kami harus membayarnya? Bagaimana cara kami membayarnya? Seperti saat tiba di Don Mueang Airport, kami naik bis menuju pusat kota dan membayar ongkos di dalam bis lewat seorang kernet perempuan yang menggenggam kaleng berbentuk tabung lonjong berisi uang. Tapi untuk bis kali ini, sepertinya tidak ada kernetnya!
Awalnya kami mengira laki-laki yang mengobrol dengan supir bis itu adalah sang kernet, tapi sampai di sebuah halte ia tiba-tiba turun dari bis. Ternyata penumpang juga! Akhirnya kami beranikan diri untuk bertanya kepada seorang penumpang pria paruh baya yang belum lama naik dan berdiri di sebelah kami duduk., “Maaf sir, berapa baht kami harus bayar ongkos naik bis ini?”
selfie dulu di dalam bis 15
Jawaban cukup mengejutkan dari pria berkacamata itu adalah bahwa ini adalah bis gratis! No fare, katanya. Setelah mengucap terima kasih, kami langsung saling berpandangan sambil senyum-senyum penuh arti. “Ternyata ada ya angkutan umum tanpa bayar di dunia ini?” mungkin begitu kalimat yang ada di pikiran masing-masing…
Meski masalah bayaran sudah selesai, saya masih dengan seksama melihat ke jalan sambil membuka Google Maps untuk mengetahui lewat mana saja rute bis nomor 15 ini. “Itu di depan ramai sekali seperti rombongan turis, jangan-jangan kita sudah sampai ya?” tiba-tiba istri berseru sambil menunjuk ke depan. Benar juga, bis ini berputar di sebuah lapangan seperti alun-alun, dan ternyata kami ada di depan Grand Palace, obyek wisata terkenal di Bangkok bekas istana raja Thailand.
nyangsang di Grand Palace
Ketika bis berhenti di sebuah pemberhentian yang penuh dengan rombongan turis, yang sepertinya dari negara Cina, serta merta istri mengusulkan agar kita turun saja. Usulan itu langsung saya sambut dengan berdiri dan menggandeng tangannya untuk segera turun dari bis ‘no fare’ yang cukup nyaman tersebut, dan kami langsung berjalan mengikuti rombongan para turis menuju halaman Grand Palace.
antrean masuk Grand Palace
Melihat antrean masuk ke bangunan utama Grand Palace yang membludak, kami memutuskan untuk tidak ikutan masuk dan tetap pada tujuan awal, salah satunya adalah Wat Pho. Kuil yang terkenal akan keberadaan patung raksasa Buddha terbaring, ternyata terletak di belakang Grand Palace, dan kami hanya perlu bejalan kaki saja untuk mencapainya.
untuk melihat Giant Buddha di Wat Pho musti buka alas kaki dan disediakan kantongnya
kami dan giant Buddha di Wat Pho
Singkat cerita, setelah mengunjungi Wat Pho, kami sangat kelelahan, sehingga perlu asupan sedikit camilan dan minuman. Banyak jajanan unik di Bangkok, salah satunya adalah yang berjualan di depan kuil ini. Kami akhirnya mencoba sate kentang dan ceplok telor puyuh yang lucu. Kami terpaksa membatalkan rencana ke Wat Arun, mengingat waktu yang tidak cukup karena harus pulang malam ini, sementara hari sudah mulai menuju sore.
jajan kentang dan ceplok telor puyuh
Berbekal pengalaman naik bis gratis ketika berangkat, kami mencoba pulang juga dengan bis, sukur-sukur kalo bisa dapat lagi yang gratis, hehe… Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya kami memasuki bis yang dikerneti oleh ibu-ibu, sepertinya profesi kernet di Bangkok kebanyakan wanita (seperti bis yang mangkal di Don Mueang). Arah berjalannya bis ternyata tidak semakin mendekat ke tempat kami menginap di kawasan Ratchathewi ke arah timur, ini malahan melaju berlawanan ke arah barat!
Setelah bis sempat melintas jembatan menyeberang sungai Chao Phraya (arah barat), kami langsung berhenti di halte terdekat sebelum makin jauh. Setelah duduk sejenak di halte di sisi jalan menuju arah timur, kami lagi-lagi kebingungan mencari daftar nomor rute bis. Beberapa orang ditanya tidak dapat berbahasa Inggris, termasuk ada seorang gadis belia yang manis, bergaya seperti mahasiswi, yang ternyata malah makin membuat kami bingung karena dia menjawab dengan bahasa Thai, hehe…
Sebelum semakin bingung bin linglung dan matahari semakin ke barat, akhirnya kami memutuskan untuk menghentikan taksi, dan melaju meninggalkan halte tersebut. Sekalipun tarifnya lebih tinggi daripada bis, namun jika dikurs rupiah, naik taksi jatuhnya tidak juga terlalu mahal, apalagi argonya masih bisa ditawar.
di JPO di atas halte tempat kami nyasar
Pilihan saat itu untuk naik taksi adalah keputusan tepat, karena dengan begitu kami masih punya sisa waktu untuk belanja oleh-oleh di pasar Pratunam, sebelum kembali ke hotel dan check-out mengejar pesawat jam delapan malam. Kebayang jika kami tadi naik bis gratis yang jalannya lambat, belum lagi kalau ternyata salah ambil rute.
Belakangan baru diketahui bahwa memang bis di Bangkok jarang direkomendasikan bagi para turis, khususnya untuk turis barat/bule. Bagi mereka yang perlu efisiensi waktu karena harus mencapai beberapa destinasi dalam sehari, tidak disarankan untuk menggunakan bis karena jalannya tidak terlalu cepat. Tapi bagi “turis” lepas dan santai seperti kami yang tanpa jadwal terencana, naik bis gratis sangatlah membantu, terutama ketika sudah mulai kehabisan ongkos, hehehe..